Dewasa ini, protes
dalam konteks keagamaan menjadi gejala yang mengemukan di Indonesia. Kasus di
Madura baru-baru ini menjadi bukti bahwa protes masalah keagamaan dapat melebar
menjadi konflik komunal. Protes masalah ahmadiyah yang dilakukan oleh FPI juga
berujung bentrok di Jakarta baru-baru ini. Pertanyaan yang mengemuka adalah;
apakah kita mampu mengelola kamtibmas terhadap protes dan demonstrasi masalah
keagamaan yang bisa saja terjadi di wilayah kita?
Menyampaikan protes
dan berdemonstrasi adalah hak warganegara dalam demokrasi, seperti diatur dalam
UU Penyampaian pendapat di muka umum dan UU mogok buruh (termasuk aturan yang
mengatakan buruh boleh demonstasi tanpa memberitahuan polisi asalkan dilakukan
di dalam kompleks pabrik). Protes adalah ungkapan ketidaksetujuan atau
penentangan terhadap sesuatu dalam bentuk pernyataan dan tindakan.
Oxford Advanced
Learner’s Dictionary mendefinisikan protes
sebagai berikut: “the expression of strong disagreement with or opposition to
sth; a statement or an action that shows this” (London: Oxford University
Press, 2001, hal. 1019). Artinya, protes adalah ungkapan ketidaksetujuan dan
penentangan yang kuat terhadap sesuatu, serta pernyataan atau aksi yang menunjukkan
penentangan dan ketidaksetujuan tersebut.
Protes
berbeda dari demonstrasi karena demonstrasi bisa mendukung selain menolak atau
menentang. Definisi kamus untuk
demonstrasi adalah sebagai berikut: “a public meeting or march at which people
show that they are protesting against or supporting sb/sth.” (Oxford
Advanced Learner’s Dictionary. London: OUP 2001, hal. 334). Artinya,
demonstrasi adalah pertemuan atau pawai terbuka untuk menunjukkan bahwa para
demonstran menentang atau mendukung sesuatu atau seseorang.
Protes dan demonstrasi
keagamaan ialah protes dan demonstrasi yang mengandung nilai, tuntutan, dan
identitas keagamaan atau yang dibingkai dalam ungkapan dan idiom keagamaan.
Sehubungan
dengan peran polisi dalam penanganan protes yang terkait dengan isu agama, ada
beberapa persepsi dan kesalahpahaman yang perlu diperhatikan. Beberapa di
antaranya yang sering ditemukan adalah:
-
Polisi tidak atau kurang tegas dalam menangani protes, demonstrasi, dan konflik
keagamaan.
-
Polisi jarang hadir, atau tidak hadir, di lokasi protes keagamaan.
-
Kalau polisi hadir dalam insiden protes keagamaan, polisi diam saja, tidak
mengambil tindakan memadai (hanya mengawasi dan mengambil gambar), atau
terlambat mengambil tindakan.
-
Dalam mengelola protes keagamaan, polisi terkesan ragu-ragu, kekurangan
informasi mengenai permasalahannya, dan tidak percaya diri.
-
Dalam menangani protes keagamaan, polisi seringkali tunduk terhadap tekanan
massa yang lebih besar.
Memahami
Strategi Peserta Protes Dan Demonstrasi
Apa
saja strategi peserta protes, khususnya protes yang melibatkan isu-isu
keagamaan?
Pertama-tama, protes
keagamaan dapat dilakukan dengan damai atau dengan disertai kekerasan. Dilihat
dari pengalaman Indonesia, salah satu riset menunjukkan sebagian besar, yaitu
66 persen, insiden konflik keagamaan di Indonesia pada periode 1990-2008
berbentuk aksi damai. Sisanya, 34 persen, mencakup aksi kekerasan (Ali-Fauzi,
Alam, Panggabean 2009, hal. 14). Selanjutnya, sebagian besar, yaitu 79 persen,
dari total insiden aksi damai tersebut berupa aksi massa, seperti demonstrasi,
pawai, pertemuan besar, dan pengaduan. Sisanya, 21 persen, tidak melibatkan
massa, seperti petisi, siaran pers, jumpa pers, dan gugatan hukum (hal. 15-16).
Apabila dalam insiden
tersebut ada aksi kekerasan, maka bentuknya adalah penyerangan, bentrokan, dan
kerusuhan atau amuk massa. Sasaran dan/atau pelaku yang terlibat adalah
penyerangan orang/kelompok orang; penyerangan hak milik orang/ kelompok orang;
penyerangan aparat pemerintah/hak milik pemerintah; penyerangan warga asing/hak
milik pemerintah asing; bentrok antar warga/kelompok keagamaan versus aparat
keamanan; bentrok antarkelompok warga; dan kerusuhan/amuk massa berdampak pada
korban jiwa/kerusakan properti milik kelompok keagamaan.
Subjenis kekerasan
berupa penyerangan hak milik orang/ kelompok orang terkait isu keagamaan
merupakan insiden tertinggi, disusul aksi penyerangan orang/kelompok orang
terkait isu keagamaan, dan selanjutnya bentrok antarkelompok warga.
Bagaiamana
Penanganan Polisi dalam Menangani Protes dan Demonstrasi Masalah Agama?
Masyarakat perlu
mengetahui beberapa pertimbangan dan ketentuan polisi dalam menangani protes
termasuk yang mencakup persoalan dan isu agama. Ada protap yang mengharuskan
polisi harus selalu hadir dalam setiap insiden protes termasuk protes
keagamaan. Jika tidak hadir, berarti terjadi pelanggaran protap (pembiaran).
Selain itu, polisi harus hadir kalau ada perkiraan ancaman, misalnya kalau
protesnya dihadiri banyak orang dan peserta protes (baik berdasarkan informasi
intelijen maupun berdasarkan pengalaman) bersifat agresif dan menggunakan
cara-cara konfrontasional.
Polisi juga harus
hadir kalau protes dan demonstrasi diadakan gerakan sosial-keagamaan tertentu
yang punya reputasi bikin onar ketika protes. Polisi harus hadir bila protes
dilakukan terhadap kebijakan pemerintah pusat. Kalau terhadap peraturan daerah,
polisi menunggu permintaan dari pihak pemerintah daerah. Ada kalanya polisi
turun ke lokasi protes keagamaan tetapi menyamar dan rahasia seperti pemantauan
undercover, operasi disinformasi, atau mengganggu tokoh-tokoh aktivis
protes; misalnya supaya protes dibatalkan.
Pada saat kejadian
protes, polisi memiliki beberapa pilihan strategi dan pendekatan. Seorang pakar
pemolisian protes, Donatella della Porta, menampilkan pilihan-pilihan tersebut
sebagai berikut:
Cakupan
perilaku dan tindakan:
1.
Represif
-
Dalam pemolisian protes yang represif, cakupan perilaku yang dilarang bisa
banyak, bisa mencakup penerapan jam malam.
-
Polisi menggunakan pendekatan yang represif apabila protes keagamaan dan
demonstrasi berbentuk konfrontasi, bentrokan antar-kelompok massa, atau
serangan suatu kelompok terhadap kelompok lain yang disertai dengan penggunaan
kekerasan.
2. Toleran
-
Pemolisian protes disebut toleran apabila cakupan perilaku yang dilarang
sedikit, misalnya hanya berupa pengaturan.
-
Polisi menggunakan pendekatan yang toleran apabila protes dan demonstrasi
keagamaan berlangsung dengan damai, dengan gangguan yang minim.
Cakupan
kelompok yang ditangani secara represif:
1.
Selektif
Dalam
strategi yang selektif, represi diarahkan kepada kelompok tertentu di
antara para peserta protes dan demonstrasi, tidak secara menyeluruh.
2.
Menyebar
Dalam
strategi yang menyebar, represi diarahkan secara meluas ke banyak kelompok yang
ikut protes dan demonstrasi.
Waktu/timing
intervensi:
1.
Preventif
-
Dalam strategi yang preventif, intervensi polisi bertujuan mencegah insiden
protes dan unjuk rasa.
-
Strategi preventif juga bisa berarti bahwa intervensi polisi bertujuan mencegah
kekerasan, pengrusakan, dan tindak pidana lain yang dilakukan kelompok protes
dan demonstrasi.
2.
Reaktif
-
Disebut reaktif apabila intervensi polisi dilakukan ketika, atau setelah,
protes atau unjuk rasa terjadi.
-
Tujuan strategi yang reaktif adalah menanggulangi dan mengelola insiden, bukan
mencegah.
Tingkatan
pasukan yang dikerahkan:
1.
Keras
-
Disebut keras apabila pasukan yang dikerahkan banyak, melibatkan berbagai unit
kepolisian termasuk pemukul.
-
Penggunaan strategi ini seringkali bertujuan memadamkan protes yang keras dan
konfrontatif.
2.
Lunak
-
Disebut lunak apabila pasukan yang dikerahkan kecil atau sedikit.
-
Tujuannya adalah memelihara keamanan dan ketertiban.
Pertimbangan
legal dan demokrasi:
1.
Bersih; Disebut bersih apabila intervensi polisi dilakukan sesuai prosedur,
legal, dan demokratis, tanpa unsur pelanggaran hak asasi manusia.
2.
Kotor; Disebut kotor apabila intervensi polisi tak sesuai prosedur, tidak
legal, dan menyalahi prinsip demokrasi.
Interaksi
Strategis dalam Pengelolaan Polisi Terhadap Masalah Protes dan Demonstrasi
Berdasarkan
uraian di atas, kita sekarang dapat mengatakan bahwa pengelolaan protes,
termasuk pengelolaan protes keagamaan, adalah interaksi strategis yang
melibatkan strategi peserta protes dan strategi polisi. Della Porta
menggambarkannya sebagai berikut:
Pedoman
Pemolisian Protes & Konflik Keagamaan
1.
Pencegahan.
Utamakan pencegahan kekerasan, bukan penanggulangan dan penanganan
pasca-kejadian. Mencegah lebih mudah dan murah dari mengobati.
2.
Terapkan SARA dalam strategi problem solving (Scanning,
Analysis, Response, Assessment).
3.
Koordinasi.
Gunakan aneka forum, seperti FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) dan FKPM
(Forum Komunikasi Polisi-Masyarakat), secara rutin dan terjadual dalam rangka
pencegahan, dan dengan intensif dalam rangka penanganan dan penanggulanan
protes dan konflik keagamaan.
4.
Respons.
Respons terhadap indikator awal dan informasi akurat mengenai konflik harus
dilakukan sesegera mungkin, jangan tunggu sampai keadaan menjadi tegang,
berbagai isu beredar, dan demonstrasi terjadi.
5.
Rumor.
Tangani rumor dengan segera dan dengan mengedepankan fakta dan informasi yang
memadai.
6.
Strategi polisi. Pelajari pilihan strategi dan pendekatan yang dapat
atau harus digunakan polisi dalam mengelola protes dan konfik keagamaan.
7.
Strategi kelompok protes. Pelajari strategi kelompok pelaku protes
dan perkembangan strategi mereka; misalnya dari cara-cara damai sampai
cara-cara yang menggandung kekerasan.
8.
Kehadiran dan pengerahan massa dalam protes keagamaan tidak otomatis
akan mengandung aksi kekerasan. Sebagian besar insiden protes keagamaan di
Indonesia adalah aksi damai.
9.
Apabila terjadi aksi kekerasan dalam protes keagamaan, perhatikan
bentuk-bentuk kekerasan yang paling penting, yaitu penyerangan, bentrokan, dan
kerusuhan atau amuk massa.
10.
Kembangkan komunikasi internal di lingkungan organisasi polisi, baik
komunikasi antar-fungsi maupun komunikasi bawahanpimpinan. Tindakan saling
menyalahkan harus dihindari di dalam organisasi Polri.
11.
Sejarah konflik. Kumpulkan dan bahas informasi latar belakang, termasuk
situasi konflik, sikap konflik, dan sejarah konflik komunal, khususnya untuk
konflik yang diduga atau berdasarkan pengalaman akan berulang.
Dikutip dari berbagai sumber;
Krishna Murti
Senior Superintendent of Police
Coordinator Police Planning Officer
United Nations Department of Peace Keeping Operations
United Nations Head Quarter
New York, USA