Saturday 1 December 2012

Pengelolaan Protes dan Demonstrasi Masalah Keagamaan



Dewasa ini, protes dalam konteks keagamaan menjadi gejala yang mengemukan di Indonesia. Kasus di Madura baru-baru ini menjadi bukti bahwa protes masalah keagamaan dapat melebar menjadi konflik komunal. Protes masalah ahmadiyah yang dilakukan oleh FPI juga berujung bentrok di Jakarta baru-baru ini. Pertanyaan yang mengemuka adalah; apakah kita mampu mengelola kamtibmas terhadap protes dan demonstrasi masalah keagamaan yang bisa saja terjadi di wilayah kita?

Menyampaikan protes dan berdemonstrasi adalah hak warganegara dalam demokrasi, seperti diatur dalam UU Penyampaian pendapat di muka umum dan UU mogok buruh (termasuk aturan yang mengatakan buruh boleh demonstasi tanpa memberitahuan polisi asalkan dilakukan di dalam kompleks pabrik). Protes adalah ungkapan ketidaksetujuan atau penentangan terhadap sesuatu dalam bentuk pernyataan dan tindakan.

Oxford Advanced Learner’s Dictionary mendefinisikan protes sebagai berikut: “the expression of strong disagreement with or opposition to sth; a statement or an action that shows this” (London: Oxford University Press, 2001, hal. 1019). Artinya, protes adalah ungkapan ketidaksetujuan dan penentangan yang kuat terhadap sesuatu, serta pernyataan atau aksi yang menunjukkan penentangan dan ketidaksetujuan tersebut.   

Protes berbeda dari demonstrasi karena demonstrasi bisa mendukung selain menolak atau menentang. Definisi kamus untuk demonstrasi adalah sebagai berikut: “a public meeting or march at which people show that they are protesting against or supporting sb/sth.” (Oxford Advanced Learner’s Dictionary. London: OUP 2001, hal. 334). Artinya, demonstrasi adalah pertemuan atau pawai terbuka untuk menunjukkan bahwa para demonstran menentang atau mendukung sesuatu atau seseorang.
Protes dan demonstrasi keagamaan ialah protes dan demonstrasi yang mengandung nilai, tuntutan, dan identitas keagamaan atau yang dibingkai dalam ungkapan dan idiom keagamaan.

Sehubungan dengan peran polisi dalam penanganan protes yang terkait dengan isu agama, ada beberapa persepsi dan kesalahpahaman yang perlu diperhatikan. Beberapa di antaranya yang sering ditemukan adalah:
- Polisi tidak atau kurang tegas dalam menangani protes, demonstrasi, dan konflik keagamaan.
- Polisi jarang hadir, atau tidak hadir, di lokasi protes keagamaan.
- Kalau polisi hadir dalam insiden protes keagamaan, polisi diam saja, tidak mengambil tindakan memadai (hanya mengawasi dan mengambil gambar), atau terlambat mengambil tindakan.
- Dalam mengelola protes keagamaan, polisi terkesan ragu-ragu, kekurangan informasi mengenai permasalahannya, dan tidak percaya diri.
- Dalam menangani protes keagamaan, polisi seringkali tunduk terhadap tekanan massa yang lebih besar.

Memahami Strategi Peserta Protes Dan Demonstrasi
Apa saja strategi peserta protes, khususnya protes yang melibatkan isu-isu keagamaan?
Pertama-tama, protes keagamaan dapat dilakukan dengan damai atau dengan disertai kekerasan. Dilihat dari pengalaman Indonesia, salah satu riset menunjukkan sebagian besar, yaitu 66 persen, insiden konflik keagamaan di Indonesia pada periode 1990-2008 berbentuk aksi damai. Sisanya, 34 persen, mencakup aksi kekerasan (Ali-Fauzi, Alam, Panggabean 2009, hal. 14). Selanjutnya, sebagian besar, yaitu 79 persen, dari total insiden aksi damai tersebut berupa aksi massa, seperti demonstrasi, pawai, pertemuan besar, dan pengaduan. Sisanya, 21 persen, tidak melibatkan massa, seperti petisi, siaran pers, jumpa pers, dan gugatan hukum (hal. 15-16).

Apabila dalam insiden tersebut ada aksi kekerasan, maka bentuknya adalah penyerangan, bentrokan, dan kerusuhan atau amuk massa. Sasaran dan/atau pelaku yang terlibat adalah penyerangan orang/kelompok orang; penyerangan hak milik orang/ kelompok orang; penyerangan aparat pemerintah/hak milik pemerintah; penyerangan warga asing/hak milik pemerintah asing; bentrok antar warga/kelompok keagamaan versus aparat keamanan; bentrok antarkelompok warga; dan kerusuhan/amuk massa berdampak pada korban jiwa/kerusakan properti milik kelompok keagamaan.

Subjenis kekerasan berupa penyerangan hak milik orang/ kelompok orang terkait isu keagamaan merupakan insiden tertinggi, disusul aksi penyerangan orang/kelompok orang terkait isu keagamaan, dan selanjutnya bentrok antarkelompok warga.

Bagaiamana Penanganan Polisi dalam Menangani Protes dan Demonstrasi Masalah Agama?
Masyarakat perlu mengetahui beberapa pertimbangan dan ketentuan polisi dalam menangani protes termasuk yang mencakup persoalan dan isu agama. Ada protap yang mengharuskan polisi harus selalu hadir dalam setiap insiden protes termasuk protes keagamaan. Jika tidak hadir, berarti terjadi pelanggaran protap (pembiaran). Selain itu, polisi harus hadir kalau ada perkiraan ancaman, misalnya kalau protesnya dihadiri banyak orang dan peserta protes (baik berdasarkan informasi intelijen maupun berdasarkan pengalaman) bersifat agresif dan menggunakan cara-cara konfrontasional.

Polisi juga harus hadir kalau protes dan demonstrasi diadakan gerakan sosial-keagamaan tertentu yang punya reputasi bikin onar ketika protes. Polisi harus hadir bila protes dilakukan terhadap kebijakan pemerintah pusat. Kalau terhadap peraturan daerah, polisi menunggu permintaan dari pihak pemerintah daerah. Ada kalanya polisi turun ke lokasi protes keagamaan tetapi menyamar dan rahasia seperti pemantauan undercover, operasi disinformasi, atau mengganggu tokoh-tokoh aktivis protes; misalnya supaya protes dibatalkan.

Pada saat kejadian protes, polisi memiliki beberapa pilihan strategi dan pendekatan. Seorang pakar pemolisian protes, Donatella della Porta, menampilkan pilihan-pilihan tersebut sebagai berikut:

Cakupan perilaku dan tindakan:
1. Represif
- Dalam pemolisian protes yang represif, cakupan perilaku yang dilarang bisa banyak, bisa mencakup penerapan jam malam.
- Polisi menggunakan pendekatan yang represif apabila protes keagamaan dan demonstrasi berbentuk konfrontasi, bentrokan antar-kelompok massa, atau serangan suatu kelompok terhadap kelompok lain yang disertai dengan penggunaan kekerasan.
2. Toleran
- Pemolisian protes disebut toleran apabila cakupan perilaku yang dilarang sedikit, misalnya hanya berupa pengaturan.
- Polisi menggunakan pendekatan yang toleran apabila protes dan demonstrasi keagamaan berlangsung dengan damai, dengan gangguan yang minim.

Cakupan kelompok yang ditangani secara represif:
1. Selektif
Dalam strategi yang selektif, represi diarahkan kepada kelompok tertentu di antara para peserta protes dan demonstrasi, tidak secara menyeluruh.
2. Menyebar
Dalam strategi yang menyebar, represi diarahkan secara meluas ke banyak kelompok yang ikut protes dan demonstrasi.

Waktu/timing intervensi:
1. Preventif
- Dalam strategi yang preventif, intervensi polisi bertujuan mencegah insiden protes dan unjuk rasa.
- Strategi preventif juga bisa berarti bahwa intervensi polisi bertujuan mencegah kekerasan, pengrusakan, dan tindak pidana lain yang dilakukan kelompok protes dan demonstrasi.
2. Reaktif
- Disebut reaktif apabila intervensi polisi dilakukan ketika, atau setelah, protes atau unjuk rasa terjadi.
- Tujuan strategi yang reaktif adalah menanggulangi dan mengelola insiden, bukan mencegah.
Tingkatan pasukan yang dikerahkan:
1. Keras
- Disebut keras apabila pasukan yang dikerahkan banyak, melibatkan berbagai unit kepolisian termasuk pemukul.
- Penggunaan strategi ini seringkali bertujuan memadamkan protes yang keras dan konfrontatif.
2. Lunak
- Disebut lunak apabila pasukan yang dikerahkan kecil atau sedikit.
- Tujuannya adalah memelihara keamanan dan ketertiban.

Pertimbangan legal dan demokrasi:
1. Bersih; Disebut bersih apabila intervensi polisi dilakukan sesuai prosedur, legal, dan demokratis, tanpa unsur pelanggaran hak asasi manusia.
2. Kotor; Disebut kotor apabila intervensi polisi tak sesuai prosedur, tidak legal, dan menyalahi prinsip demokrasi.

Interaksi Strategis dalam Pengelolaan Polisi Terhadap Masalah Protes dan Demonstrasi
Berdasarkan uraian di atas, kita sekarang dapat mengatakan bahwa pengelolaan protes, termasuk pengelolaan protes keagamaan, adalah interaksi strategis yang melibatkan strategi peserta protes dan strategi polisi. Della Porta menggambarkannya sebagai berikut:

Pedoman Pemolisian Protes & Konflik Keagamaan
1. Pencegahan. Utamakan pencegahan kekerasan, bukan penanggulangan dan penanganan pasca-kejadian. Mencegah lebih mudah dan murah dari mengobati.
2. Terapkan SARA dalam strategi problem solving (Scanning, Analysis, Response, Assessment).
3. Koordinasi. Gunakan aneka forum, seperti FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) dan FKPM (Forum Komunikasi Polisi-Masyarakat), secara rutin dan terjadual dalam rangka pencegahan, dan dengan intensif dalam rangka penanganan dan penanggulanan protes dan konflik keagamaan.
4. Respons. Respons terhadap indikator awal dan informasi akurat mengenai konflik harus dilakukan sesegera mungkin, jangan tunggu sampai keadaan menjadi tegang, berbagai isu beredar, dan demonstrasi terjadi.
5. Rumor. Tangani rumor dengan segera dan dengan mengedepankan fakta dan informasi yang memadai.
6. Strategi polisi. Pelajari pilihan strategi dan pendekatan yang dapat atau harus digunakan polisi dalam mengelola protes dan konfik keagamaan.
7. Strategi kelompok protes. Pelajari strategi kelompok pelaku protes dan perkembangan strategi mereka; misalnya dari cara-cara damai sampai cara-cara yang menggandung kekerasan.
8. Kehadiran dan pengerahan massa dalam protes keagamaan tidak otomatis akan mengandung aksi kekerasan. Sebagian besar insiden protes keagamaan di Indonesia adalah aksi damai.
9. Apabila terjadi aksi kekerasan dalam protes keagamaan, perhatikan bentuk-bentuk kekerasan yang paling penting, yaitu penyerangan, bentrokan, dan kerusuhan atau amuk massa.
10. Kembangkan komunikasi internal di lingkungan organisasi polisi, baik komunikasi antar-fungsi maupun komunikasi bawahanpimpinan. Tindakan saling menyalahkan harus dihindari di dalam organisasi Polri.
11. Sejarah konflik. Kumpulkan dan bahas informasi latar belakang, termasuk situasi konflik, sikap konflik, dan sejarah konflik komunal, khususnya untuk konflik yang diduga atau berdasarkan pengalaman akan berulang.

Dikutip dari berbagai sumber;

Krishna Murti
Senior Superintendent of Police
Coordinator Police Planning Officer
United Nations Department of Peace Keeping Operations
United Nations Head Quarter
New York, USA

No comments:

Post a Comment

Sesuai Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang PEDOMAN DASAR STRATEGI DAN IMPLEMENTASI PEMOLISIAN MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN TUGAS POLRI.

Undang - undang No. 14 Tahun 2008 tentang KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK.

Menjalin Kemitraan (partnership and networking) adalah segala upaya membangun sinergi dengan potensi masyarakat yang meliputi komunikasi berbasis kepedulian, konsultasi, pemberian informasi dan berbagai kegiatan lainnya demi tercapainya tujuan masyarakat yang aman, tertib dan tenteram.

Silahkan sampaikan informasi, masukan, usul dan saran untuk mencapai citra Polri yang dicintai masyarakat.

Salam Persaudaraan!

Upacara "BUKADIK AK-49" Siswa Diktukba Polri Gel-II T.A. 2023

Hinai, Selasa (25/7/23).  Diktukba Polri merupakan tahap pendidikan dan latihan bagi calon Bintara Kepolisian yang telah melalui serangkaian...